Peneliti Swedia Berikan Kuliah Umum Bahasa, Tradisi Lisan, dan Etnobiologi

FBS-Bahasa Jawa. Indonesia yang terdiri atas ratusan etnik daerah menciptakan kekayaan budaya dan bahasa yang beraneka ragam. Meski bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu rakyat Indonesia, tiap etnik memiliki kekhasan bahasa daerahnya masing-masing. Fenomena ini menarik berbagai peneliti bahasa untuk menyusuri keunikan bahasa-bahasa tersebut. Salah satu peneliti tersebut adalah Steven Danerek. Pria asal Swedia tersebut memaparkan hasil penelitiannya di hadapan para mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah UNY Rabu lalu (1/10).

Bertempat di ruang seminar gedung Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) UNY, Steven menceritakan pengalamannya menelusuri bahasa dan budaya rakyat Palu’e, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Beliau memilih Flores sebagai lokasi penelitiannya sebab beliau ingin mencari bahasa daerah yang tidak terdapat kamusnya. “Saya memilih bahasa yang tidak banyak pembicaranya namun tetap memiliki banyak budaya. Di Flores, ada 150 orang yang berbicara dengan bahasa yang saya teliti ini. Kalau orang lain mengadakan penelitian di Indonesia, pasti memilih pulau Jawa. Maka, saya memilih lokasi di luar pulau Jawa,” terang peneliti cerita rakyat tersebut dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Didampingi Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Prof. Dr. Suwardi, M.Hum., Steven melanjutkan, “Penelitian ini dimulai bulan Januari hingga Maret tahun lalu (2013.red). Bulan Februari adalah bulan yang berat karena kondisinya berkabut dan banyak hewan mati serta manusia yang sakit.” Sembari memaparkan hasil penelitiannya, beliau menyuguhkan berbagai dokumentasi selama kegiatan di Flores yang membuat decak kagum para peserta.

Salah satu fenomena adat yang menarik perhatian Steven adalah tradisi potong kerbau sebagai sarana pembersihan tanah atau symbol syukur warga. Keunikan adat tersebut terletak pada ritual pemotongan kerbau yang menggunakan tarian. Ritual ini dapat memakan waktu satu hingga dua jam. Setelah ritual selesai, dimulailah siklus lima tahunan yang digunakan untuk memelihara anak kerbau dan larangan untuk memotong kerbau lagi. Beliau mengungkapkan bahwa rakyat di desa tersebut percaya bahwa selama siklus tersebut berlangsung, terdapat banyak pamali atau hal yang tabu untuk dilakukan. (Zidnie/HumasFBS)